Sabtu, 05 Februari 2011

IBU DAN KOTAK TUA BERWARNA COKLAT

“Za... cepat berganti baju, mas Ahmad sudah menunggumu di luar sejak tadi, kenapa engkau tak bergegas?”, suara ibu dari depan kamar membuyarkan lamunanku.

Kurapikan jilbabku dan kuambil dompet kulit coklat kesayanganku. Kudekap erat dompet itu, dompet yang engkau berikan padaku 2 tahun yang lalu.

“Ya, aku sudah siap’” kataku. Mas Ahmad serta bapak yang sedang berbincang akrab di ruang tamu serentak menoleh padaku.

“Baiklah, kami berangkat sekarang pak.. bu..”, pamit mas Ahmad pada kedua orang tuaku disambut anggukan mereka.

Kulihat bapak tersenyum bangga atas lelaki bijak pilihannya untukku.

“Zahra.. apakah kau sudah mantap dengan rencana pernikahan kita?”, ujar mas Ahmad sesaat sesampainya kami berdua di butik tempat kami memesan gaun pengantin.

Aku tersenyum sambil memandang wajahnya. Benarkah aku siap? Kudekap erat dompetku. Aku menginginkanmu, aku ingin kamu menikah denganku.

Aku tak melihatmu, hanya ada ibu serta adikmu yang hadir di pesta pernikahanku, lalu kemanakah kamu? Aku menitikkan air mataku untuk kesedihanku ataukah kesedihanmu aku tak tahu, tapi aku tak dapat memungkiri hatiku aku masih menyayangimu.

Lima tahun berlalu, telah hadir 3 buah hati yang menghiasi biduk perjalanan rumah tangga kami, si kembar Arya dan Aryo dan si cantik Maura yang masih asyik bergelayut dalam pelukanku.

“Zahra sayang…. Kamu sudah siap? Kita pergi sekarang, hapuslah air matamu.

Berdo’a saja semoga tidak terjadi apa-apa?”, suara lembut mas Ahmad berusaha menenangkan segala kegalauanku. Ya… aku tidak boleh menangis segalau apapun hatiku terlebih dihadapan mereka para buah hatiku, aku harus tegar meski kekhawatiranku sangat erat menyelimutiku.

Kupandangi wajah tuanya, gurat-gurat tua itu tak mampu menyembunyikan kecantikannya. Dialah ibuku, orang yang paling aku sayang sepenuh hatiku yang kini sedang berjuang melawan penyakit ganas yang menggerogoti tubuh rentanya.

“Zahra…”, lirih suaranya memangil namaku. Kudekati beliau, kugenggam tangannya dan kucium keningnya.

“Iya bu, Zahra di sini, di dekat ibu”, kataku.

“Zahra, maafkan ibu nak”,ujar ibu lirih.

“Untuk apa bu? Ibu tak pernah berbuat salah pada kami anak-anak ibu apalagi padaku,” kataku.

“Zahra, ibu hanya mencoba patuh pada amanat ayahmu, maafkan ibu… Zahra, ambilah kotak coklat yang ibu letakkan di dalam lemari kayu jati di gudang belakang rumah kita, itu untukmu,maafkan ibu”, ibu berkata lagi sambil menitikkan air matanya.

Aku mengangguk tanda memahaminya dan tersenyum mencoba mengurangi risau hatinya, meski hatiku sendiri bertanya apa maksud dari semua perkataan ibu.

Kudapati kotak berwarna coklat yang penuh debu di dalam lemari jati di gudang belakang rumah kami. Kubuka perlahan kotak berwarna coklat itu. Aku terkejut, aku tertegun. Tiba-tiba saja nafasku terasa sesak, detak jantungkupun terasa berhenti, tak terasa air mata saja yang menetes di pipi mewakili isi hati.

Kotak tua itu penuh dengan surat-surat dan benda-benda cantik berwarna coklat kesukaanku, semuanya berasal dari pengirim yang sama Fahri Purnama orang yang kucintai sepenuh hatiku 7 tahun yang lalu, orang yang kuanggap telah melupakanku dan menghilang tanpa memberi kabar sedikitpun untukku, ternyata....

1 komentar:

Mau koment monggo, saran kritik diterima. Lha wong masih harus banyak belajar, iya to..... matur nuwun