Sabtu, 05 Februari 2011

Benih Cinta di Pesantren

Mengintip dari balik bilik dapur, itu yang selalu aku lakukan ketika engkau lewat. Tapi memberanikan diri berkenalan denganmu aku tak mampu untuk itu.

Mulanya aku enggan menimba ilmu di pondok pesantren. Alasannya sepele yaitu masih belum siap untuk jauh dari keluarga terutama dari ummi,ummi tempatku bermanja dan berbagi Namun dengan “keharusan” yang abah tekankan maka sampailah aku di pondok pesantren “Al-Jannah” ini.

Terpikir olehku sebuah pondokan dengan banyak orang yang harus tidur bersempit-sempitan di dalam sebuah kamar dengan makanan di jatah dan segudang aktifitas keagamaan lainnya yang harus kutunaikan, Huuuuuft……beratnya,sampai kapan aku akan bertahan di pondokan pesantren? Ditambah lagi pagi hari aku harus bersekolah di lembaga pendidikan formal yang pasti juga banyak memiliki tugas dan aktifitas. Namun kumantapkan langkah dan hatiku demi menjalankan amanat kedua orang tuaku.

Kekagumanku padamu berawal ketika aku datang di pesantren ini 5 tahun yang lalu. Tanpa sengaja aku menatap wajahmu di ruang kantor madrasah ‘Al-Jannah”. Sosok tubuh ideal, berkulit putih besih,berhidung mancung, dan bermata indah, kamu bak foto model pada majalah-majalah remaja kesukaanku dahulu. “Subhanallah….terimakasih kepada Allah yang telah menganugrahkan ketampanan pada wajahmu”, batin hatiku. Aku tak berani menatap lagi dirimu saat tanpa sengaja tatapan matamu juga menujuku. Entah aku malu,senang, risih atau takut kamu mengetahui rasa kagumku padamu. Aaaah…. Inikah cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang penting adalah melaksanakan amanat Abah dan Ummi sebaik-baiknya untuk belajar di pondok pesantren ini karena dipundak kamilah anak-anaknya masa depan mereka juga nantinya tergantung, dan tentang kamu, .biarlah kujadikan semangatku untuk mengusir kebosananku dengan banyaknya aktifitas nanti yang akan kulakukan di sini.

Waktu terus berjalan, aku semakin dekat dengan sosokmu namun tetap saja aku tak berani mengenalmu lebih dekat. kekagumankupun semakin bertambah ketika mendapati kau selalu turut dalam acara pemberian materi-materi pesantren, aku selalu memiliki semangat dobel ketika mengetahui bahwa kamulah yang menjadi tutornya. Suaramu bagus saat kau mengalunkan ayat suci Al-Quran atau hafalan hadis,pun ketika kau kumandangkan adzan sholat, suaramu menggetarkan hatiku.

Di suatu hari seperti biasa sebagai “koki pesantren” aku menyiapkan hidangan di dalam rumah kediaman pemilik pesantren. Aku mendengar percakapan akrab dari ruang tamu dan aku mengenali suara itu, suara abah dan ummi. Apakah mereka akan menjemputku dari pesantren sekarang? Bukankah masih beberapa bulan lagi aku harus menyelesaikan kegiatan di pesantren ini? “Nduk Fathi…ayo ikut nyai ke ruang tamu” sapa Nyai ibu pemilik pesantren yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Dengan kepatuhan aku mengikuti langkah kaki Nyai menuju ruang depan menemui Kyai, abah, ummi dan dia. Dialah Faiz Al Mustofa putra ketiga pemilik pesantren inipun ada di ruangan yang sama. Ada apa ini?

“Fathi…duduklah, kami ingin menanyakan sesuatu kepadamu?”, suara pak Kyai lembut menyapaku. Lalu beliau berkata kembali, ” Abah dan Ummimu juga kupanggil kemari, jawablah dengan jujur sesuai dari hatimu di hadapan kami semua. Apakah engkau bersedia apabila kami jodohkan dengan Faiz?”. Bibirku tak mampu menjawab, badanku terasa ringan lemas tak bertulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau koment monggo, saran kritik diterima. Lha wong masih harus banyak belajar, iya to..... matur nuwun