Rabu, 09 Februari 2011

KADO VALENTINE

..Sekuntum mawar merah a..a…a.. yang kuberikan kepadamu..uu..uu, di esok hariiii, k.a..m.u.. pasti akan tersenyuuuuum… Dengan suara sumbang aku nekad untuk menyanyikan lagu dangdut hit penyanyi pujaanku meski dengan suara pas-pasan dan mengubah liriknya sesuka hatiku, semoga pencipta lagunya memaklumi orang yang lagi kasmaran ini, hi..hi..hi..

Sudah beres, setangkai mawar merah, sekotak coklat dan satu boneka tedy bear pink sudah kubungkus dengan rapi. Aduuuuuh… jadi nggak tahan liat ekspresi sayangku Metha besok pagi, asyiiik….

Yaaaach…. Kenapa hari valentinenya jatuh hari senin sich, kan harus ikut upacara, runtuk hatiku. Pasti nanti kepanasan terus keringatan, nggak seru dong mau ketemu ama yayang kok dengan tampang dekil…huh sungutku. Pandangan mataku melirik barisan kelas sebelah, ada Metha disana. Hmm… gadis pujaanku itu manis sekali, pasti nanti senyumnya akan terlihat lebih manis kalau menerima kado valentine yang kusiapkan tadi malam, Oohh….betapa bahagianya hatiku membayangkan kegembiraannya yang sekaligus menjadi kegembiraanku. Upacara hari senin ini kok aneh, nggak biasanya diikuti hanya separuh dari jumlah guru yang mengajar di sekolah ini, kenapa ya?

Khaaaaah…. Kaget bercampur amarah. “Heeii…siapa yang berani membuka tasku, ayo ngaku??!!” teriakku spontan. “Kenapa Diaz ?”, Tanya Arif teman sebangkuku. “Lihat… ada yang mengobrak-abrik isi tasku, bahkan kado valentineku untuk Metha juga raib, siapa yang mengambilnya ?”. Tiba-tiba saja Ayu juga teriak,”Lhoh.. kado valentineku dari Ardi tadi pagi juga nggak ada?”. “Hei…. Suratku bersampul pink untuk Wati juga nggak ada,” imbuh Nizam dari bangku seberang. Wah.. wah.. rupanya kelas kami baru saja kemasukan pencuri, ini tidak bisa dibiarkan kami harus bertindak. Kemudian kami sepakat untuk mengadukan hal ini kepada guru kami.

“Iya… sabar nak, tulis saja pada lembaran kelas itu. Barang apa saja milik kalian yang hilang tadi pagi.”,kata bu Nurul guru bimbingan konseling kami. Lalu bu Nurul menyuruh kami untuk kembali ke kelas dan berjanji akan menyelesaikan permasalahan ini.

Ada yang menarik ketika usai kegiatan belajar mengajar, semua murid diinstruksikan guru untuk datang ke lapangan upacara. Di sana nampak Metha dan beberapa anak lainnya sibuk membagikan selebaran pada para murid yang hadir. Selebaran itu berisi berbagai info yang memberi penjelasan tentang makna Valentine. Diantaranya terdapat kalimat : Valentine adalah budaya barat, tidak ada penjelasan disertai bukti-bukti akurat mengapa tanggal 14 Pebruari dikeramatkan sebagai hari kasih sayang, jadi adakah alasan kuat untuk mengikutinya atau hanya korban “latah mode” ?

Yang lebih mengagetkan kami adalah di lapangan tersebut pada salah satu sudutnya dari kejauhan nampak berwarna pink. Sontak terkejut ketika mendapati barang-barang kami yang hilang tadi pagi bertumpuk di situ membentuk gunungan kecil cantik berwarna dominan pink. Ya ampun, inikah penolakan nyata pada hari valentine untuk menyadarkan kami supaya tidak tersesat lebih dalam. Meskipun sayang dengan coklat, mawar dan boneka yang kubeli untuk Methaku tersayang akhirnya aku harus merelakannya untuk dibakar bersama dengan barang-barang milik teman lainnya. Aku rela jika memang ini adalah untuk membuka kebenaran sesungguhnya, bahwa kami salah telah mengagungkan valentine’s day

_______________rin’s
(470 kata dengan judul)

Sabtu, 05 Februari 2011

IBU DAN KOTAK TUA BERWARNA COKLAT

“Za... cepat berganti baju, mas Ahmad sudah menunggumu di luar sejak tadi, kenapa engkau tak bergegas?”, suara ibu dari depan kamar membuyarkan lamunanku.

Kurapikan jilbabku dan kuambil dompet kulit coklat kesayanganku. Kudekap erat dompet itu, dompet yang engkau berikan padaku 2 tahun yang lalu.

“Ya, aku sudah siap’” kataku. Mas Ahmad serta bapak yang sedang berbincang akrab di ruang tamu serentak menoleh padaku.

“Baiklah, kami berangkat sekarang pak.. bu..”, pamit mas Ahmad pada kedua orang tuaku disambut anggukan mereka.

Kulihat bapak tersenyum bangga atas lelaki bijak pilihannya untukku.

“Zahra.. apakah kau sudah mantap dengan rencana pernikahan kita?”, ujar mas Ahmad sesaat sesampainya kami berdua di butik tempat kami memesan gaun pengantin.

Aku tersenyum sambil memandang wajahnya. Benarkah aku siap? Kudekap erat dompetku. Aku menginginkanmu, aku ingin kamu menikah denganku.

Aku tak melihatmu, hanya ada ibu serta adikmu yang hadir di pesta pernikahanku, lalu kemanakah kamu? Aku menitikkan air mataku untuk kesedihanku ataukah kesedihanmu aku tak tahu, tapi aku tak dapat memungkiri hatiku aku masih menyayangimu.

Lima tahun berlalu, telah hadir 3 buah hati yang menghiasi biduk perjalanan rumah tangga kami, si kembar Arya dan Aryo dan si cantik Maura yang masih asyik bergelayut dalam pelukanku.

“Zahra sayang…. Kamu sudah siap? Kita pergi sekarang, hapuslah air matamu.

Berdo’a saja semoga tidak terjadi apa-apa?”, suara lembut mas Ahmad berusaha menenangkan segala kegalauanku. Ya… aku tidak boleh menangis segalau apapun hatiku terlebih dihadapan mereka para buah hatiku, aku harus tegar meski kekhawatiranku sangat erat menyelimutiku.

Kupandangi wajah tuanya, gurat-gurat tua itu tak mampu menyembunyikan kecantikannya. Dialah ibuku, orang yang paling aku sayang sepenuh hatiku yang kini sedang berjuang melawan penyakit ganas yang menggerogoti tubuh rentanya.

“Zahra…”, lirih suaranya memangil namaku. Kudekati beliau, kugenggam tangannya dan kucium keningnya.

“Iya bu, Zahra di sini, di dekat ibu”, kataku.

“Zahra, maafkan ibu nak”,ujar ibu lirih.

“Untuk apa bu? Ibu tak pernah berbuat salah pada kami anak-anak ibu apalagi padaku,” kataku.

“Zahra, ibu hanya mencoba patuh pada amanat ayahmu, maafkan ibu… Zahra, ambilah kotak coklat yang ibu letakkan di dalam lemari kayu jati di gudang belakang rumah kita, itu untukmu,maafkan ibu”, ibu berkata lagi sambil menitikkan air matanya.

Aku mengangguk tanda memahaminya dan tersenyum mencoba mengurangi risau hatinya, meski hatiku sendiri bertanya apa maksud dari semua perkataan ibu.

Kudapati kotak berwarna coklat yang penuh debu di dalam lemari jati di gudang belakang rumah kami. Kubuka perlahan kotak berwarna coklat itu. Aku terkejut, aku tertegun. Tiba-tiba saja nafasku terasa sesak, detak jantungkupun terasa berhenti, tak terasa air mata saja yang menetes di pipi mewakili isi hati.

Kotak tua itu penuh dengan surat-surat dan benda-benda cantik berwarna coklat kesukaanku, semuanya berasal dari pengirim yang sama Fahri Purnama orang yang kucintai sepenuh hatiku 7 tahun yang lalu, orang yang kuanggap telah melupakanku dan menghilang tanpa memberi kabar sedikitpun untukku, ternyata....

Benih Cinta di Pesantren

Mengintip dari balik bilik dapur, itu yang selalu aku lakukan ketika engkau lewat. Tapi memberanikan diri berkenalan denganmu aku tak mampu untuk itu.

Mulanya aku enggan menimba ilmu di pondok pesantren. Alasannya sepele yaitu masih belum siap untuk jauh dari keluarga terutama dari ummi,ummi tempatku bermanja dan berbagi Namun dengan “keharusan” yang abah tekankan maka sampailah aku di pondok pesantren “Al-Jannah” ini.

Terpikir olehku sebuah pondokan dengan banyak orang yang harus tidur bersempit-sempitan di dalam sebuah kamar dengan makanan di jatah dan segudang aktifitas keagamaan lainnya yang harus kutunaikan, Huuuuuft……beratnya,sampai kapan aku akan bertahan di pondokan pesantren? Ditambah lagi pagi hari aku harus bersekolah di lembaga pendidikan formal yang pasti juga banyak memiliki tugas dan aktifitas. Namun kumantapkan langkah dan hatiku demi menjalankan amanat kedua orang tuaku.

Kekagumanku padamu berawal ketika aku datang di pesantren ini 5 tahun yang lalu. Tanpa sengaja aku menatap wajahmu di ruang kantor madrasah ‘Al-Jannah”. Sosok tubuh ideal, berkulit putih besih,berhidung mancung, dan bermata indah, kamu bak foto model pada majalah-majalah remaja kesukaanku dahulu. “Subhanallah….terimakasih kepada Allah yang telah menganugrahkan ketampanan pada wajahmu”, batin hatiku. Aku tak berani menatap lagi dirimu saat tanpa sengaja tatapan matamu juga menujuku. Entah aku malu,senang, risih atau takut kamu mengetahui rasa kagumku padamu. Aaaah…. Inikah cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang penting adalah melaksanakan amanat Abah dan Ummi sebaik-baiknya untuk belajar di pondok pesantren ini karena dipundak kamilah anak-anaknya masa depan mereka juga nantinya tergantung, dan tentang kamu, .biarlah kujadikan semangatku untuk mengusir kebosananku dengan banyaknya aktifitas nanti yang akan kulakukan di sini.

Waktu terus berjalan, aku semakin dekat dengan sosokmu namun tetap saja aku tak berani mengenalmu lebih dekat. kekagumankupun semakin bertambah ketika mendapati kau selalu turut dalam acara pemberian materi-materi pesantren, aku selalu memiliki semangat dobel ketika mengetahui bahwa kamulah yang menjadi tutornya. Suaramu bagus saat kau mengalunkan ayat suci Al-Quran atau hafalan hadis,pun ketika kau kumandangkan adzan sholat, suaramu menggetarkan hatiku.

Di suatu hari seperti biasa sebagai “koki pesantren” aku menyiapkan hidangan di dalam rumah kediaman pemilik pesantren. Aku mendengar percakapan akrab dari ruang tamu dan aku mengenali suara itu, suara abah dan ummi. Apakah mereka akan menjemputku dari pesantren sekarang? Bukankah masih beberapa bulan lagi aku harus menyelesaikan kegiatan di pesantren ini? “Nduk Fathi…ayo ikut nyai ke ruang tamu” sapa Nyai ibu pemilik pesantren yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Dengan kepatuhan aku mengikuti langkah kaki Nyai menuju ruang depan menemui Kyai, abah, ummi dan dia. Dialah Faiz Al Mustofa putra ketiga pemilik pesantren inipun ada di ruangan yang sama. Ada apa ini?

“Fathi…duduklah, kami ingin menanyakan sesuatu kepadamu?”, suara pak Kyai lembut menyapaku. Lalu beliau berkata kembali, ” Abah dan Ummimu juga kupanggil kemari, jawablah dengan jujur sesuai dari hatimu di hadapan kami semua. Apakah engkau bersedia apabila kami jodohkan dengan Faiz?”. Bibirku tak mampu menjawab, badanku terasa ringan lemas tak bertulang.